Kartini 2025: Pendidikan dan Pemberdayaan Perempuan, Jalan Panjang yang Belum Usai



Kartini 2025: Pendidikan dan Pemberdayaan Perempuan, Jalan Panjang yang Belum Usai
Oleh: Lutfi Abdul Gani

Hari ini, 21 April, kita kembali mengenang sosok Raden Ajeng Kartini—perempuan Jawa yang dalam keterbatasan zamannya mampu menembus sekat patriarki dan menjadi pelopor emansipasi perempuan. Kartini bukan sekadar tokoh sejarah, ia adalah simbol perlawanan terhadap ketidakadilan, suara yang mewakili harapan banyak perempuan untuk mendapatkan hak-haknya yang setara.

Tahun 2025 ini, peringatan Hari Kartini datang dengan semangat yang harus terus diperbarui. Bukan hanya mengenang Kartini dengan kebaya dan upacara seremonial, melainkan menjadikan momen ini sebagai refleksi: sejauh mana kita sudah mengaktualkan gagasannya dalam kehidupan perempuan Indonesia hari ini?

Kartini dan Mimpi tentang Pendidikan

Dalam surat-suratnya yang kemudian dibukukan dalam "Habis Gelap Terbitlah Terang", Kartini menyuarakan satu hal yang paling fundamental: pendidikan bagi perempuan. Baginya, pendidikan adalah jalan menuju pencerahan dan kebebasan berpikir. Ia sadar betul bahwa tanpa akses terhadap ilmu pengetahuan, perempuan akan selalu tertinggal dan tersubordinasi.

Namun, lebih dari seabad setelah Kartini wafat, akses pendidikan yang adil dan bermutu bagi perempuan Indonesia belum sepenuhnya merata. Data dari berbagai lembaga menunjukkan bahwa masih banyak anak perempuan yang putus sekolah, terutama di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Perempuan juga masih sering tersisih dari bidang pendidikan sains dan teknologi, serta minim keterlibatannya dalam kebijakan pendidikan nasional.

Pendidikan hari ini harus berpihak pada pemberdayaan. Bukan hanya mengajar perempuan untuk membaca dan berhitung, tetapi juga mendorong mereka menjadi subjek dalam perubahan. Pendidikan harus membentuk perempuan yang kritis, berani bersuara, dan mampu menentukan masa depannya sendiri.

Pemberdayaan: Dari Rumah ke Ruang Publik

Kartini masa kini tidak lagi dibatasi oleh dinding keraton atau sekat tradisi. Ia hadir dalam berbagai wajah: sebagai ibu rumah tangga yang mandiri, buruh migran yang berjuang di negeri orang, pegiat UMKM yang menopang ekonomi lokal, akademisi yang meneliti perubahan, hingga pemimpin yang menginspirasi.

Namun, jalan pemberdayaan masih penuh tantangan. Diskriminasi gender, kekerasan terhadap perempuan, ketimpangan ekonomi, hingga keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan dan hukum masih menghantui kehidupan banyak perempuan Indonesia. Perlu sinergi antara negara, masyarakat, dan dunia pendidikan untuk menciptakan ekosistem yang mendukung perempuan agar bisa berkembang secara maksimal.

Kartini Bukan Sekadar Hari

Peringatan Hari Kartini seharusnya tidak berhenti di panggung perayaan atau lomba busana adat. Ia harus menjadi momentum pengingat bahwa perjuangan Kartini belum selesai. Masih banyak perempuan yang membutuhkan dukungan untuk bisa berdaya, berpikir bebas, dan mengambil peran dalam pembangunan bangsa.

Mengutip semangat Kartini: "Jika kamu tidak kuat menahan lelahnya belajar, maka kamu harus kuat menanggung perihnya kebodohan." Pesan ini tidak hanya berlaku bagi perempuan, tapi bagi kita semua—terutama para pengambil kebijakan dan pendidik—agar terus menciptakan ruang belajar dan ruang tumbuh yang adil bagi semua anak bangsa.

Di tahun 2045 nanti, saat Indonesia genap berusia 100 tahun, kita bermimpi menjadi bangsa emas. Tapi mimpi itu tak akan lengkap tanpa kehadiran perempuan yang setara, berdaya, dan terdidik. Dan itulah warisan sejati Kartini: jalan terang yang harus terus kita rawat.


Posting Komentar untuk "Kartini 2025: Pendidikan dan Pemberdayaan Perempuan, Jalan Panjang yang Belum Usai"