LENTERA KEHIDUPAN (DISKURSES TEOLOGIS-FILOSOFIS BERSERI)



LENTERA KEHIDUPAN (DISKURSES TEOLOGIS-FILOSOFIS BERSERI)
Prof .Dr. Rd. Mulyadhi Kartanegara
(Guru Besar UIN Syarif Hidatullah)


Assalamu 'alaikum wr. wb.

Teman-teman yang budiman, mulai hari ini wangsakara.com ingn menyajikan tayangan serial dari teologi kontemporer yang termuat dalam buku Prof .Dr. Rd. Mulyadhi Kartanegara Lentera Kehidupan: Panduan Memahami Tuhan, Alam dan Manusia. ada seminar 40 tema yang mungkin menarik dan bermanfaat untuk meluaskan cakrawala keilmuan Islam kita. Atas izin beliau wangsakara.com menyajikan tulisan yang disajikan Prof Mul di facebook beliau. Dan bila teman-teman ingin lebih mendalami kajian beliaun bisa dinikmati pada catatan-catatan beliau di facebook atau menikmati bukunya dengan cara pesan langsung. Semoga bermanfaat. 

Buku ini saya (Prof Prof .Dr. Rd. Mulyadhi Kartanegara) tulis sebagai jawaban terhadap 14 pertanyaan filosofis yang sulit untuk dijawab. Tema yang pertama tentang Zat Tuhan. 

Zat (Esensi) Tuhan

Yang paling penting ketika kita ingin mengetahui sebuah objek apa pun, termasuk Tuhan, adalah esensi (māhiyyah) atau ke-apa-an darinya. Karena itu, pertanyaan “apa” itu Tuhan adalah sebuah pertanyaan yang penting dan sah. Meskipun begitu, jawabannya tidak mesti mudah, bahkan tidak selalu mungkin. 

Mengetahui hakikat atau esensi Tuhan dikenal dalam sejarah pemikiran sebagai sesuatu yang sangat berat, bahkan mungkin berada di luar jangkauan manusia. Jadi, tidak heran kalau ada filsuf yang menyebut Tuhan sebagai “The Great Unknown”,“Yang Besar tapi Tak Dikenal”. Adapun maksud kata “tak bisa dikenal” adalah “tidak bisa diketahui secara positif, tetapi secara negatif”, atau, dalam istilah filsafatnya, “via-negativa”. 

Via negativa maksudnya adalah mengetahui Tuhan dengan cara membedakan-Nya dengan yang lain, seraya berkata, “Dia tidak seperti apa pun”. “Via negativa” dikenal juga dengan istilah “Negative Theology”.Pendekatan via-negativa kepada Tuhan sebenarnya juga telah dikembangkan oleh para filsuf dan mistikus Islam (selanjutnya disebut sufi) dengan istilah “tanzīh”. Ibn ‘Arabi (w. 1240) misalnya mengatakan bahwa sejauh menyangkut zat atau esensi Tuhan, maka Ia adalah “tanzīh” atau “transenden”. 

Istilah tanzīh mengisyaratkan perbedaan yang mutlak antara Tuhan dan makhluk-Nya. Kata tanzīh ini biasanya dikontraskan dengan kata tasybīh atau keserupaan, yakni keserupaan antara makhluk dengan Tuhan dari aspek nonesensial, yakni dari aspek sifat-sifat-Nya.

Tentu saja ide “tanzīh” ini mendapat dukungan yang kuat dari kitab suci al-Qur’ān, yang dalam beberapa ayat-nya menunjukkan dengan jelas sifat tanzīh ini. Salah satunya adalah ayat: “Tiada sesuatu apa pun yang serupa dengan-Nya” (QS. 42: 11). Bisa juga ditambahkan dengan ayat lainnya: “Dan tidak ada satu pun yang setara dengan-Nya” (QS. 112: 4). Nah, karena tidak ada sesuatu apa pun yang serupa dengan Tuhan, sedangkan pengetahuan apa pun yang dimiliki oleh manusia tentang-Nya mestilah berupa sesuatu, maka pengetahuan kita tentang Tuhan pastilah tidak sama dengan-Nya. 

Begitu juga, ketika kita menyetarakan Tuhan dengan apa pun, pastilah penyetaraan kita juga tidak sama, karena Dia tidak setara dengan apa pun. Dia adalah unik, dalam arti tidak ada duanya, tidak ada taranya. Deskripsi atau pemberian apa pun yang manusia buat tentang Tuhan, pastilah tidak akan sama dengan-Nya. Inilah, menurut saya, yang dimaksud dengan ayat: “Mahasuci Allah dari apa pun yang mereka deskripsikan” (QS. 23: 91).

Pembicaraan tentang ke-tanzīh-an zat Tuhan ini penting, bukan hanya pada agama Islam tetapi juga pada agama-agama lain. Dalam Taoisme, misalnya, dikatakan bahwa “apa saja yang seseorang katakan tentang Tao, maka pastilah ia bukan Tao.”6

Dalam agama Buddha, pertanyaan tentang apa itu Tuhan dianggap oleh sang Buddha tidak perlu didiskusikan. Oleh karena itu, wajar kalau ada sebagian orang mengatakan bahwa Buddhisme “tidak bertuhan”,7yakni tidak memiliki konsep “positif” dan personal tentang Tuhan. Para pemeluk Buddhisme tidak mau bicara tentang Tuhan, bukan karena tidak percaya kepada adanya Tuhan, tetapi karena, bagi mereka, pendeskripsian esensi Tuhan tidak akan membawa kita pada-Nya, karena sesungguhnya Dia memang tidak bisa dideskripsikan. Bagi agama ini, pertanyaan “jalan mana yang harus ditempuh untuk sampai kepada-Nya” itu jauh lebih penting dan bermakna daripada pertanyaan tentang esensi atau haki-kat Tuhan itu sendiri. Pendirian ini perlu dilihat dari konteks tanzīh agar bisa dipahami dan dihargai makna dan tujuannya. Dalam Islam sendiri, isu ini telah mendapat berbagai tanggapan baik dari para filsuf maupun sufi. Abu Sulaiman al-Sijistani (w. 973), misalnya, menyatakan, Tuhan bahkan tidak bisa dikatakan sebagai “ada” dalam arti “maujūd”. Dia pencipta yang ada, tetapi Dia sendiri tidak sama dan melampaui segala maujūdāt.

Ibn Sīnā (w. 1037) juga menyatakan bahwa Tuhan adalah Esa atau Tunggal, karena Ia tidak memiliki jenis dan spesies, sementara hakikat sesuatu bisa diketahui hanya melalui jenis dan spesiesnya. Karena esensi (dzāt) Tuhan pada dasarnya tidak bisa dipisahkan dari eksistensi (wujūd)-Nya, maka ia tidak bisa dibedakan dari wujud. Dalam diri Tuhan, esensi dan eksistensi adalah sama dan satu, sementara pada yang selain Tuhan, esensi dan eksistensi bisa dibedakan. 

Mengapa? Karena mereka memiliki jenis, spesies, dan differ ensia. Di tempat lain, seorang sufi bernama Shadr al-Din al Qunawi (w. 1274), murid, anak tiri, dan systematizer konsep wahdat al-wujūd Ibn ‘Arabī (w. 1240) memandang Tuhan tidak bisa dikenal pada level esensi, karena di sini Ia belum lagi menjadi sesuatu atau, menggunakan istilah beliau, ghair muta’ayyan, yang artinya “belum lagi menjadi sebuah sesuatu (‘ain)”.10 Karena seseorang hanya mampu mengetahui sebuah objek apabila ia sudah menjadi sesuatu, padahal Tuhan pada tahap ghair muta‘ayyan belum lagi menjadi sesuatu (entitas), maka tidak ada jalan bagi orang tersebut untuk bisa mengeta hui esensi Tuhan. Diperlukan beberapa tahap ta‘ayyun, yakni “proses menjadi sesuatu” untuk seorang manusia mampu me ngenali-Nya. Ke-tanzīh-an Tuhan dalam literatur tasawuf juga bisa dilihat dari konsep Tuhan sebagai “Pusaka yang Tersem bunyi” (Kanz Makhfiyy), sebagaimana yang kita dapat peroleh dari sebuah hadis Qudsi: “Kuntu kanzan makhfiyyan”, artinya: “Sesungguhnya Aku adalah Pusaka yang Tersembunyi”, yang mengisyaratkan bahwa tidak seorang pun akan bisa mengenal -Nya. (Bersambung)


Posting Komentar untuk "LENTERA KEHIDUPAN (DISKURSES TEOLOGIS-FILOSOFIS BERSERI)"